Rabu, 26 Maret 2014

Busana Perang Pria Bliran Sina Watublapi



                Senyum simpul membias wajah Bapak Alfonsus (41) manakala hendak diabadikan oleh seorang fotografer di Sanggar Blirian Sina, Watublapin, Kecamatan Kanggae, Kabupaten Sikka, Flores NTT, Kamis 15/01.
Pria hiitam  manis ini adalah satu dari 60-an anggota Sanggar Blirian Sina.  Dengan menggunakan busana perang, tampak keperkasaan, dan keberanian, memancar dari wajahnya. Ia menggenggam parang di tangan kanan dan perisai di tangan kiri seakan menambah aura kejantanannya.
„Pakaian dan segala perlengkapan yang saya kenakan adalah pakaian perang suku Kangae,“ ungkap ayah 5 anak ini.
Ada beberapa perlengkapan pakaian perang dari ujung kaki hingga kepala, seperti  Lado(pengikat kepala) dikenakan oleh setiap pria, sebagai lambang kejantanan dan keperkasaan serta juga tanggungjawab. Lado terbuat dari daun lontar.
Sebagai penutup tubuh,  seseorang pria menggunakan Ragi.  Ragi adalah sarung yang digunakan untuk menutup tubuh bagian bawah, dan untuk tubuh bagian atas dikenakan ragi gaing. Kedua pembungkus tubuh ini terbuat dari hasil  tenun ikat .
Pria yang sehari-hari berprofesi sebagai petani ini menambahkan selain ragi gaing yang dikenakan, di lehernya dikalungkan pula ledan (kalung). Ledan terbuat dari gigi taring binatang buas yang diperoleh dari hasil buruan.
Mengapa harus gigi dan tidak anggota tubuh yang lain? Pria hitam manis ini mengaku dipakai gigi sebab gigi adalah prisai dari binatang buas. Melambangkan keberanian, sebab pada umumnya binatang buas menggunakan gigi untuk menaklukan mangsanya.
Untuk mengisi bekal dalam perjalanan, seorang pejuang kampung menggunakan dilang.  Ada berbagai bentuk ukuran dilang, namun secara umum berbentuk bulat. Fungsinya bermacam-macam, bisa digunakan untuk mengisi air atau moke (minuman khas Flores) atau juga makanan lainnya.
Sebagai seorang prajurit, selain perlengkapan pakaian dan asesoris perang, seorang prajurit harus  memiliki kemampuan untuk berperang. Ketangkasan dan keahlian dalam berperang diperoleh dari latihan dasar untuk berperang.
Representasi dari kempuan ini diwujud-nyatakan dalam ketiga jenis tarian. Tarian awi Alu, melatih ketangkasan kaki untuk mengantisipasi serangan lawan dari bawah. Tarian Mage Mot,  melatih ketangkasan leher, mengantisipasi serangan dari atas. Dan tarian tua reta lou, mengintai musuh.
Sebelum berangkat perang diadakan ritus atau upacara adat dan prajurit-prajurit utusan perang akan diberikan kekuatan. Parang akan diolesi oleh darah anjing dan dagingnya dimakan mentah.
Sebagai mantra kekuatan setiap prajurit akan menggelegarkan kalimat  ‘Ha’e reta telang petu Liu baku wara wair Mate dadak nora namang’ (semuanya sudah diberikan kekuatan, dia yang diutus rela dan siap  mati dimedan perang).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar